Biografi Atha’ bin Abi Rabah: Ulama yang Menginspirasi dari Kalangan Tabi’in
Biografi Atha' bin Abi Rabah - Dalam sejarah Islam, terdapat tokoh-tokoh luar biasa yang dilahirkan bukan dari kaum bangsawan atau kelas elit, tetapi dari lapisan masyarakat biasa.
Salah satu dari mereka adalah Atha' bin Abi Rabah, seorang mantan budak yang kemudian menjadi ulama besar dan dihormati di zamannya.
Kisah hidup Atha’ menjadi bukti nyata bahwa kemuliaan seseorang dalam pandangan Allah tidak bergantung pada status sosial atau harta, melainkan pada ketakwaan dan kesungguhannya dalam mencari ilmu.
Masa Kecil dan Latar Belakang Atha' bin Abi Rabah
Atha’ bin Abi Rabah dilahirkan pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, di sebuah keluarga yang bukan dari kalangan bangsawan. Ayahnya, yang dikenal dengan sebutan Abi Rabah, bernama asli Aslam, adalah seorang budak yang kemudian dimerdekakan.
Atha’ sendiri memiliki fisik yang dianggap rendah di mata masyarakat saat itu: kulitnya hitam, hidungnya pesek, dan tangannya cacat. Namun, keadaan ini sama sekali tidak membuatnya mundur dalam menuntut ilmu dan menata masa depan yang penuh keberkahan.
Ketika Atha’ masih berusia muda, ia berstatus sebagai budak di kota Mekah. Sebagai seorang hamba sahaya, tugasnya banyak dan keterbatasannya dalam gerak cukup besar. Namun, Atha’ muda sudah menunjukkan minat yang kuat terhadap ilmu agama, terutama pada bidang fikih dan hadis.
Rasa ingin tahunya begitu besar hingga majikannya pun mengakui semangatnya ini. Tak lama, majikannya membebaskannya dengan harapan bahwa Atha’ kelak bisa menjadi seseorang yang bermanfaat bagi umat Islam.
Perjalanan Menuntut Ilmu yang Penuh Kesungguhan
Setelah mendapatkan kebebasan, Atha’ pun menggunakan kesempatan ini dengan penuh syukur. Ia memfokuskan waktunya untuk menuntut ilmu dari para sahabat Nabi yang masih hidup.
Atha' berguru kepada banyak tokoh besar, seperti Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, dan sahabat-sahabat lainnya yang tersisa pada masa itu. Dalam salah satu kesempatan, Atha’ mengatakan bahwa dirinya pernah berjumpa dengan lebih dari dua ratus sahabat Nabi.
Atha’ juga dikenal sebagai sosok yang pantang menyerah dalam mencari ilmu. Ia bahkan sering tidur di masjid untuk lebih dekat dengan tempat belajar dan beribadah, tanpa memedulikan kenyamanan duniawi.
Ibnu Juraij, salah seorang muridnya, menceritakan bahwa Atha’ tidur di masjid selama lebih dari 20 tahun hanya demi memperdalam ilmu agama. Atha' dikenal sebagai orang yang sangat konsisten dalam ibadahnya, bahkan kerap kali salat dengan khusyuk dan membaca ayat-ayat panjang dari Al-Qur’an.
Menjadi Ulama Besar dan Rujukan di Mekkah
Ketekunan Atha’ akhirnya berbuah manis. Ia dikenal sebagai seorang mufti di Mekah yang banyak menjadi rujukan dalam hal fatwa. Pengaruhnya begitu besar hingga ulama-ulama besar dari kalangan tabi’in dan bahkan beberapa sahabat sering meminta pendapatnya.
Keilmuan dan kewibawaan Atha’ membuat Abdullah bin Abbas, salah satu sahabat Nabi yang sangat dihormati, pernah menyarankan penduduk Mekah untuk bertanya kepada Atha’ jika memerlukan fatwa agama.
Sosok Atha’ bukan hanya seorang ahli ilmu, tetapi juga contoh kesederhanaan dan kerendahan hati. Ketika ditanya tentang suatu masalah yang tidak diketahuinya, Atha’ tidak ragu untuk mengatakan bahwa ia belum memiliki jawaban.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ilmunya luas, Atha’ selalu tawadhu dan enggan menjawab berdasarkan pendapat pribadi tanpa dasar yang kuat. Beliau bahkan pernah mengatakan, “Aku malu kepada Allah untuk berbicara tentang agama ini hanya berdasarkan pendapatku sendiri.”
Tegas dalam Menasihati Penguasa
Keberanian Atha’ dalam menyampaikan kebenaran pun terlihat ketika berhadapan dengan penguasa. Suatu ketika, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yang saat itu sedang berada di Mekah untuk menunaikan haji, mengundang Atha’ untuk berbincang dengannya.
Meski banyak pejabat tinggi di sekitar khalifah, Atha’ tidak gentar dalam memberikan nasihat. Dengan penuh ketegasan, ia mengingatkan Khalifah untuk bertakwa kepada Allah, memerhatikan kaum Muhajirin dan Anshar, serta bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.
Nasihat ini menunjukkan bahwa Atha’ tidak takut menyampaikan kebenaran di hadapan siapa pun, meskipun orang tersebut memiliki kekuasaan yang tinggi.
Saat Abdul Malik menawarkan bantuan untuk Atha’ secara pribadi, ia menolak dengan lembut, seraya mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan apa-apa dari manusia. Baginya, kehormatan sejati datang dari Allah, bukan dari pemberian manusia. Khalifah pun terkesan dan mengakui bahwa Atha’ adalah contoh kemuliaan yang sesungguhnya.
Zuhud dan Ketekunan hingga Akhir Hayat
Atha' bin Abi Rabah menjalani hidupnya dengan penuh kesederhanaan. Meskipun ia memiliki kesempatan untuk meraih dunia, Atha’ memilih untuk hidup zuhud.
Umar bin Dzar, salah satu tokoh pada masa itu, menceritakan bahwa Atha’ tidak pernah terlihat mengenakan pakaian yang mahal, bahkan pakaian yang dipakainya harganya tak lebih dari beberapa dirham. Gaya hidup yang sederhana ini mencerminkan ketulusan Atha’ dalam menjalani ilmu dan ibadahnya semata-mata untuk meraih ridha Allah.
Seiring bertambahnya usia, fisik Atha’ mulai melemah. Namun, semangatnya dalam beribadah tidak pernah luntur. Di usia lanjut, ia masih mampu berdiri dalam salat dengan khusyuk, membaca dua ratus ayat dari surah Al-Baqarah tanpa bergerak. Dedikasinya terhadap ibadah dan ilmunya tidak berkurang sedikit pun, meskipun tubuhnya semakin renta.
Akhir Hayat Sang Ulama
Atha' bin Abi Rabah wafat pada tahun 115 Hijriyah dalam usia sekitar 88 tahun. Pengabdiannya kepada ilmu dan agama telah meninggalkan warisan yang berharga bagi umat Islam, terutama di tanah Mekah yang menjadi saksi perjalanan panjangnya dalam menuntut ilmu dan berdakwah.
Semoga Allah senantiasa merahmati beliau dan memberikan balasan terbaik atas segala ilmu dan amal yang ia sampaikan kepada generasi-generasi berikutnya.
____________________________________________________________________________
Posting Komentar