Pembelajaran Kooperatif di Sekolah: Prinsip, Model, Implementasi, dan Kebijakan
Nabil Zaydan - Di sekolah, cara belajar biasanya identik dengan guru menjelaskan di depan, murid mendengarkan. Tapi ada pendekatan lain yang lebih hidup, yaitu pembelajaran kooperatif. Intinya, siswa bekerja dalam kelompok kecil, saling bantu memahami materi, dan mencapai tujuan bersama.
Konsep ini sejalan dengan budaya gotong royong yang sudah akrab di masyarakat Indonesia. Apalagi di era Kurikulum Merdeka, pembelajaran kooperatif makin relevan karena menekankan fleksibilitas, kolaborasi, dan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dari SD hingga SMA, metode pembelajaran ini dipakai dengan penekanan berbeda. Di tingkat SD untuk melatih komunikasi, sementara di SMP dan SMA lebih ke keberanian berpendapat serta presentasi.
Prinsip Utama
Kalau dibandingkan dengan cara belajar tradisional, pembelajaran kooperatif punya beberapa prinsip yang jadi ciri khas:
1. Saling bergantung positif
Anak-anak dalam kelompok punya tujuan bersama. Kalau ada satu yang nggak paham, kelompoknya bisa keteteran. Jadi, mereka dituntut untuk saling bantu.
2. Interaksi tatap muka
Bukan cuma baca buku atau dengar guru, tapi mereka ngobrol, diskusi, debat kecil. Proses ini bikin belajar terasa hidup.
3. Tanggung jawab individu
Meski kerja kelompok, tiap orang tetap dinilai kontribusinya. Jadi nggak ada yang bisa “nebeng” atau cuma diam.
4. Kelompok heterogen
Anggota kelompok biasanya campur: ada yang cepat paham, ada yang butuh waktu lebih. Justru keberagaman ini yang bikin mereka belajar menghargai perbedaan.
5. Keterampilan sosial
Anak-anak nggak cuma belajar matematika atau IPA, tapi juga belajar bersikap: sabar, menghargai pendapat, dan bernegosiasi.
Kalau dipraktikkan dengan benar, pembelajaran kooperatif bisa bikin siswa lebih aktif, lebih toleran, dan hasil belajarnya lebih tinggi. Misalnya, seorang siswa yang lebih jago matematika akan bantu temannya, tapi di saat yang sama, ia juga makin paham karena harus menjelaskan dengan bahasa sederhana.
Model-model Pembelajaran Kooperatif yang Populer
Pembelajaran kooperatif punya banyak “varian rasa”. Berikut beberapa yang paling sering dipakai di sekolah:
1. STAD (Student Teams Achievement Division)
Ini model paling klasik. Siswa dibagi ke kelompok heterogen (biasanya 4–5 orang). Mereka belajar bareng materi yang sama, lalu diuji secara individu. Nilai kelompok dihitung dari rata-rata skor anggota.
Contohnya di kelas matematika: kelompok A belajar bareng tentang bangun datar. Setelah itu, tiap siswa mengerjakan soal ulangan. Kalau semua dapat nilai bagus, kelompok mereka menang. Jadi, mereka terpacu untuk saling dorong, bukan saling saing.
2. Jigsaw
Bayangin puzzle yang harus disusun. Setiap siswa jadi “potongan” yang memegang sebagian informasi. Ada dua versi:
- Jigsaw I: tiap anggota jadi “ahli” di satu bagian materi, lalu ngajarin temannya.
- Jigsaw II: siswa pelajari gambaran umum dulu, baru masuk ke kelompok ahli, lalu kembali ke kelompok asal untuk saling mengajar.
Misalnya pelajaran IPA tentang sistem pencernaan. Siswa A belajar tentang mulut, siswa B tentang lambung, siswa C tentang usus. Setelah itu, mereka saling ajar dan akhirnya semua paham gambaran lengkap.
3. TGT (Teams–Games–Tournaments)
Kalau yang ini ada nuansa game. Kelompok belajar dulu, lalu diadakan semacam kuis atau turnamen. Siswa bertanding mewakili tim, tapi nilainya dihitung untuk kelompok.
Model ini cocok buat siswa yang gampang bosan, karena ada unsur kompetisi sehat. Belajar terasa kayak main, tapi tetap serius.
4. TPS (Think–Pair–Share)
Prosesnya tiga langkah: siswa mikir sendiri, diskusi berpasangan, lalu berbagi di depan kelas. Sederhana, tapi sangat efektif bikin semua anak ikut serta.
Bayangkan guru bertanya, “Apa fungsi akar pada tumbuhan?” Siswa mikir dulu 1 menit, lalu diskusi dengan teman sebangku. Setelah itu, mereka menyampaikan hasil diskusi. Siswa jadi punya waktu menyiapkan ide sebelum berbicara.
5. GI (Group Investigation)
Ini cocok untuk proyek yang lebih kompleks. Siswa terlibat sejak memilih topik, mengumpulkan informasi, meneliti, hingga mempresentasikan hasilnya.
Misalnya proyek IPS tentang keberagaman budaya Indonesia. Satu kelompok bisa meneliti adat Jawa, kelompok lain tentang budaya Papua, lalu hasilnya dipresentasikan ke kelas.
Bagaimana Cara Guru Menerapkannya?
Implementasi pembelajaran kooperatif nggak bisa asal jalan. Guru perlu perencanaan matang, antara lain:
- Membentuk kelompok heterogen supaya ada yang kuat membantu yang lemah.
- Menjelaskan aturan main: tujuan, peran tiap anggota, kriteria penilaian.
- Memberi peran spesifik: misalnya ada ketua, pencatat, penyaji, dan pengamat.
- Fasilitasi diskusi: guru keliling, memberi arahan, dan memastikan semua anak ikut terlibat.
- Mengatur ruang kelas: meja kursi diatur supaya anak bisa saling tatap.
- Evaluasi ganda: ada nilai individu dan kelompok.
Kalau pakai TPS misalnya, guru bisa mulai dengan pertanyaan sederhana lalu membiarkan siswa berpikir dulu sebelum diskusi. Atau dengan Jigsaw, guru bisa membagi materi IPA menjadi beberapa bagian, lalu setiap anak jadi ahli di satu bagian.
Tantangannya memang waktu. Diskusi biasanya makan lebih banyak waktu daripada ceramah. Tapi justru di situlah letak nilainya: anak-anak belajar lebih mendalam.
Contoh Praktik di Lapangan
1. Tingkat SD
Di sekolah dasar, pembelajaran kooperatif biasanya dipakai untuk pembelajaran tematik. Misalnya kelas 4 belajar tentang lingkungan. Dengan model Jigsaw, anak-anak dibagi: ada yang bahas sampah organik, ada yang anorganik, lalu mereka saling ajar. Hasilnya? Anak bukan cuma ngerti konsep, tapi juga belajar kerja sama, berbicara, dan mendengarkan.
2. Tingkat SMP
Penelitian di SMP Semarang menunjukkan penggunaan Jigsaw II dan STAD untuk pelajaran matematika kelas 7 bisa meningkatkan hasil belajar. Bahkan, keduanya sama-sama efektif, nggak ada yang lebih unggul.
3. SMA
Di tingkat SMA, model seperti TPS atau GI cocok dipakai. Misalnya dalam proyek Kurikulum Merdeka, siswa dibagi kelompok untuk meneliti isu sains: “Bagaimana dampak plastik terhadap lingkungan?” Mereka meneliti, mempresentasikan, lalu berdiskusi. Ini bukan hanya soal sains, tapi juga melatih critical thinking dan teamwork.
Plus Minus Pembelajaran Kooperatif di Indonesia
1. Kelebihan:
- Anak jadi lebih aktif; nggak hanya duduk mendengar.
- Motivasi belajar meningkat karena ada interaksi dan rasa kebersamaan.
- Melatih soft skill abad 21: komunikasi, kolaborasi, toleransi.
- Cocok untuk pendidikan inklusif: anak berkebutuhan khusus bisa dilibatkan.
- Lebih relevan dengan budaya gotong royong kita.
2. Kekurangan:
- Butuh waktu lebih lama dibanding metode ceramah.
- Guru harus siap dengan persiapan ekstra (pembagian kelompok, peran, evaluasi).
- Risiko ada anak yang dominan, sementara yang lain pasif.
- Penilaian lebih kompleks, karena harus menilai individu dan kelompok.
Tapi sebenarnya, kelemahan ini bisa diminimalkan. Guru bisa mulai dengan tugas sederhana, mengawasi lebih intens, atau membuat aturan supaya semua siswa aktif.
Dukungan dari Kebijakan Nasional
Kabar baiknya, pembelajaran kooperatif nggak berjalan sendiri. Kurikulum Merdeka memang dirancang untuk mendukung metode seperti ini.
Ada proyek Profil Pelajar Pancasila (P5) yang salah satu dimensinya adalah gotong royong. Aktivitas-aktivitas di P5, seperti proyek lingkungan atau kegiatan sosial, sangat selaras dengan pembelajaran kooperatif.
Selain itu, Kemendikbud memberi guru fleksibilitas memilih metode. Artinya, guru bebas menerapkan pembelajaran kooperatif sesuai kondisi kelasnya. Dengan begitu, CL bukan sekadar “alternatif”, tapi bisa jadi model utama dalam pembelajaran Indonesia ke depan.
Penutup
Kalau mau jujur, pembelajaran kooperatif bukan barang baru. Dari dulu, anak-anak sebenarnya sudah belajar bareng entah saat kerja kelompok bikin poster, atau saat latihan drama. Bedanya, sekarang ada kerangka teori dan strategi jelas supaya hasilnya lebih maksimal.
Dalam konteks pendidikan Indonesia hari ini, model ini relevan banget. Pertama, karena sesuai dengan budaya gotong royong. Kedua, karena sejalan dengan arah Kurikulum Merdeka yang menekankan kebebasan, partisipasi, dan kemandirian siswa.
Ya, memang butuh persiapan lebih, waktu lebih, dan peran aktif guru. Tapi kalau hasilnya anak lebih berani bicara, lebih bisa bekerja sama, dan lebih siap menghadapi tantangan abad 21, bukankah itu layak diperjuangkan?
Posting Komentar