Biografi Rohana Kudus: Sang Pelopor Pers Perempuan Pertama di Indonesia

Table of Contents

Biografi Rohana Kudus

Biografi Rohana Kudus - Bayangkan hidup di masa ketika suara perempuan nyaris tak terdengar di ruang publik. Di awal abad ke-20, ketika sebagian besar wanita masih terkungkung dalam adat, seorang perempuan dari ranah Minangkabau berani menentang arus. 

Perempuan itu bernama Rohana Kudus, ia bukan hanya seorang jurnalis, tetapi juga pendidik dan pejuang emansipasi yang membuka jalan bagi perempuan Indonesia untuk berpikir, menulis, dan berbicara lantang.

Rohana Kudus adalah sosok yang membuktikan bahwa kecerdasan dan keberanian bisa mengubah sejarah. Ia lahir di tengah masa kolonial Belanda, ketika pendidikan bagi perempuan masih langka. 

Namun, lewat pena dan keteguhannya, ia membangun kesadaran baru tentang peran perempuan dalam masyarakat. 

Kisah hidupnya bukan sekadar sejarah lama, tetapi cermin dari perjuangan dan idealisme yang tetap relevan hingga hari ini terutama di dunia pendidikan dan literasi perempuan Indonesia.

Latar Belakang Kehidupan

Rohana Kudus lahir pada 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat, sebuah daerah yang dikenal sebagai tanah kelahiran banyak tokoh besar Indonesia. 

Ia adalah putri dari Muhammad Rasjad Maharaja Soetan, seorang pejabat pemerintahan pada masa kolonial, dan memiliki saudara tiri yang tak kalah terkenal: Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.

Lingkungan tempat Rohana tumbuh sangat berpengaruh terhadap pandangan hidupnya. Koto Gadang dikenal sebagai daerah yang terbuka terhadap pendidikan dan kemajuan, meski masih kuat diikat oleh adat Minangkabau yang patriarkis. 

Di tengah keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan, Rohana beruntung karena mendapat kesempatan belajar membaca dan menulis dari ayahnya sendiri — sesuatu yang luar biasa pada masa itu.

Kecintaannya pada ilmu tumbuh sejak kecil. Ia haus pengetahuan dan sering membaca surat kabar berbahasa Melayu dan Belanda. Dari sana, kesadarannya mulai tumbuh bahwa perempuan juga harus memiliki hak untuk belajar dan berpendapat. 

Dunia luar yang ia kenal lewat bacaan membuatnya sadar bahwa perbedaan gender bukan alasan untuk membatasi kemampuan berpikir seseorang.

Namun, kehidupan Rohana tak selalu mudah. Ketika remaja, ia menghadapi tekanan sosial karena dianggap “melanggar norma” dengan berbicara terbuka dan banyak membaca. Tapi justru dari sanalah ia menempa jati dirinya: menjadi perempuan yang tangguh, kritis, dan berani berpikir maju.

Perjalanan Karier dan Perjuangan

Rohana memulai kiprah besarnya pada tahun 1911, ketika ia mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang. Sekolah ini menjadi tempat perempuan belajar membaca, menulis, menjahit, dan mengelola rumah tangga dengan pengetahuan modern. Tujuan Rohana sederhana tapi visioner: memberdayakan perempuan agar mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

Ia sadar bahwa pendidikan adalah kunci perubahan. Di masa itu, perempuan seringkali hanya diajarkan untuk menjadi istri dan ibu, bukan untuk berpikir kritis atau memiliki keterampilan mandiri. Tapi Rohana menentangnya dengan tegas. “Perempuan harus cerdas agar dapat mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang lebih baik,” begitu prinsip hidup yang selalu ia pegang.

Perjuangan Rohana tak berhenti di dunia pendidikan. Pada tahun 1912, ia mendirikan Soenting Melajoe, surat kabar pertama di Indonesia yang dikelola dan ditulis oleh perempuan. Dalam dunia jurnalistik yang didominasi laki-laki, langkah ini sungguh revolusioner. Lewat tulisan-tulisannya, ia menyuarakan pentingnya pendidikan perempuan, keadilan sosial, dan kesetaraan gender.

Artikel-artikelnya tajam namun santun. Ia menulis tentang kehidupan rumah tangga, pendidikan anak, hingga kritik terhadap sistem kolonial. Melalui pena, Rohana menanamkan kesadaran bahwa perempuan bukanlah warga kelas dua. Ia menggunakan media sebagai senjata untuk melawan ketidakadilan, bukan dengan kekerasan, melainkan dengan gagasan.

Puncak Keberhasilan dan Kontribusi

Keberanian Rohana Kudus menjadikannya pelopor jurnalisme perempuan di Indonesia. Surat kabarnya, Soenting Melajoe, menjadi wadah bagi perempuan untuk menulis dan bersuara. Di masa ketika akses informasi terbatas, media ini menjadi sumber inspirasi dan pendidikan bagi banyak wanita di Sumatera Barat dan daerah sekitarnya.

Namun pengaruh Rohana tak berhenti di situ. Sekolah yang ia dirikan melahirkan banyak perempuan terdidik yang kemudian menjadi penggerak di masyarakatnya masing-masing. Ia juga dikenal sering diundang untuk berbicara dalam forum-forum perempuan, menandakan pengakuan terhadap pemikiran progresifnya.

Pada tahun-tahun berikutnya, Rohana juga aktif membantu pemerintah lokal dalam bidang sosial dan pendidikan. Ia tidak hanya bicara, tapi turun langsung memperjuangkan perubahan. Ia memperlihatkan bahwa perjuangan perempuan tak harus dengan senjata, tapi bisa lewat buku, pena, dan pendidikan.

Pada tahun 1974, pemerintah Republik Indonesia mengakui jasanya dengan memberikan gelar Pahlawan Nasional, menjadikannya wartawan perempuan pertama yang mendapat penghargaan tertinggi dari negara. Pengakuan ini menegaskan bahwa perjuangan Rohana bukan sekadar urusan masa lalu, tapi pondasi bagi kemajuan bangsa.

Nilai, Pandangan Hidup, dan Filosofi

Ada satu hal yang membuat Rohana Kudus berbeda dari banyak tokoh perempuan sezamannya: ia tidak hanya berbicara tentang kesetaraan, tetapi juga menjalankannya dalam kehidupan nyata. Filsafat hidupnya berakar pada keyakinan bahwa pendidikan adalah jembatan menuju kebebasan yakni kebebasan berpikir, berpendapat, dan menentukan masa depan.

Dalam banyak tulisannya, Rohana menekankan pentingnya “akal dan budi” sebagai dua kekuatan utama perempuan. Baginya, perempuan yang cerdas bukan berarti melawan laki-laki, melainkan menjadi mitra sejajar dalam membangun masyarakat yang lebih beradab.

Ia juga percaya bahwa setiap perempuan punya tanggung jawab moral untuk berkontribusi pada bangsanya. “Menjadi perempuan bukan berarti lemah,” tulisnya dalam salah satu artikelnya di Soenting Melajoe, “tetapi justru berarti kuat dalam menghadapi cobaan, sabar dalam mendidik, dan tegas dalam kebenaran.”

Filosofi hidupnya ini sangat relevan bagi dunia pendidikan modern. Guru-guru dan pelajar dapat belajar darinya bahwa perjuangan sejati bukan sekadar melawan, tetapi menciptakan perubahan melalui ilmu pengetahuan, ketekunan, dan empati.

Akhir Kehidupan dan Warisan

Rohana Kudus menghabiskan masa tuanya dengan tetap aktif mengajar dan menulis. Ia wafat pada 17 Agustus 1972 — bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, seakan menjadi simbol bahwa perjuangannya selaras dengan semangat bangsa yang merdeka.

Warisan yang ia tinggalkan begitu besar. Bukan hanya dalam bentuk sekolah atau surat kabar, tapi juga dalam semangat literasi dan keberanian perempuan untuk bersuara. Namanya kini diabadikan dalam berbagai lembaga pendidikan, jalan, dan penghargaan jurnalistik di Indonesia.

Lebih dari itu, gagasan-gagasannya tetap hidup dalam semangat generasi muda yang percaya bahwa pena bisa lebih tajam daripada pedang. Ia mengajarkan bahwa pendidikan bukan milik satu gender saja, melainkan hak setiap manusia yang ingin tumbuh dan berkontribusi.

Kesimpulan

Kisah hidup Rohana Kudus adalah kisah tentang keberanian melawan batas. Ia menulis, mengajar, dan berjuang di masa ketika suara perempuan dianggap tidak penting. Namun justru dari keterbatasan itu ia menyalakan obor perubahan yang menerangi jalan banyak generasi setelahnya.

Rohana bukan hanya pahlawan bagi perempuan, tapi juga bagi seluruh bangsa yang percaya bahwa kemajuan dimulai dari pendidikan dan keberanian berpikir. Dari pena kecil di Koto Gadang, ia menulis sejarah besar yang akan selalu dikenang sebagai simbol kecerdasan, integritas, dan cinta pada tanah air.

Pertanyaan Umum (FAQ)

1. Siapakah Rohana Kudus sebenarnya?

Rohana Kudus adalah jurnalis, pendidik, dan pejuang emansipasi perempuan asal Koto Gadang, Sumatera Barat. Ia dikenal sebagai wartawan perempuan pertama di Indonesia.

2. Apa kontribusi terbesar Rohana Kudus bagi Indonesia?

Kontribusi terbesarnya adalah mendirikan sekolah bagi perempuan dan menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe, yang menjadi sarana pendidikan dan pemberdayaan perempuan pada masa kolonial.

3. Apa tantangan terbesar yang dihadapi Rohana Kudus?

Tantangan utamanya adalah menghadapi stigma sosial dan tekanan budaya yang menolak perempuan untuk berpendidikan tinggi atau terlibat dalam kegiatan publik.

4. Nilai apa yang bisa kita pelajari dari kehidupannya?

Nilai keberanian, keuletan, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah alat pembebasan dari ketertinggalan, terutama bagi perempuan.

5. Mengapa Rohana Kudus masih relevan untuk generasi kini?

Karena perjuangannya mengajarkan pentingnya literasi, kesetaraan, dan keberanian berpikir kritis, hal yang tetap dibutuhkan di era digital saat ini.

Khumaira Putri
Khumaira Putri Im a Blogger Asliseymen Blog

Posting Komentar