Biografi Abdurrauf as-Singkili (Syiah Kuala): Ulama Aceh yang Moderat

Table of Contents
Biografi Abdurrauf as-Singkili

Biografi Abdurrauf as-Singkili - Bayangkan sebuah masa di mana Aceh bukan sekadar daerah di ujung barat Indonesia, melainkan pusat ilmu dan cahaya peradaban Islam Asia Tenggara. 

Di tengah arus kapal dagang dari Arab, Gujarat, dan Turki yang bersandar di pelabuhan Banda Aceh, lahirlah seorang anak kampung bernama Abdurrauf. 

Tak ada yang menyangka bocah dari Singkil ini kelak menjadi ulama besar dunia Melayu, penafsir Al-Qur’an pertama di Nusantara, dan guru spiritual bagi para sultan Aceh.

Namanya dikenal luas sebagai Abdurrauf as-Singkili, atau dalam lidah masyarakat Aceh yaitu Teungku Syiah Kuala.

Namun, ia bukan sekadar seorang ulama. Ia adalah penyambung rantai ilmu dari Timur Tengah ke Tanah Rencong, tokoh yang menjembatani pengetahuan Islam klasik dengan budaya lokal Melayu. Melalui karya-karyanya, ajaran Islam bukan hanya dipahami, tapi juga dihidupi oleh masyarakat.

Kisah hidup Abdurrauf adalah cerminan tentang kekuatan ilmu, kesederhanaan, dan keteguhan hati. Ia bukan seorang pejuang bersenjata, tapi ia menaklukkan zaman dengan pena dan pemikiran. 

Dari tepi pantai Singkil hingga istana Sultanah Safiatuddin Syah, dari tafsir Al-Qur’an hingga reformasi hukum Islam di Aceh yang semuanya berawal dari satu hal yaitu cinta yang dalam terhadap ilmu dan kebenaran.

Latar Belakang Kehidupan

Abdurrauf lahir sekitar tahun 1615 M di daerah Singkil, Aceh Barat Daya dimana wilayah pesisir yang saat itu menjadi simpul perdagangan antara Gujarat, India, dan Sumatra. Ia lahir di tengah lingkungan religius dan masyarakat pesisir yang terbuka pada dunia luar. 

Nama lengkapnya dalam sumber Arab ditulis sebagai Abd al-Rauf bin Ali al-Fansuri al-Jawi as-Singkili. Kata al-Fansuri merujuk pada Fansur (Barus), pusat ulama dan penyair Melayu terkenal, sedangkan as-Singkili menunjukkan asal geografisnya.

Aceh pada masa kecil Abdurrauf bukanlah wilayah yang sunyi. Ia adalah pusat kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, salah satu kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara. 

Di bawah Sultan Iskandar Muda (1607–1636), Aceh mencapai masa kejayaan politik dan kebudayaan. Sekolah, masjid, dan dayah (pesantren) tumbuh di mana-mana. Dalam suasana itulah Abdurrauf tumbuh dikelilingi oleh tradisi keilmuan dan semangat keislaman yang kuat.

Sejak kecil ia menunjukkan kecerdasan dan rasa ingin tahu yang tinggi. Konon, Abdurrauf gemar duduk berjam-jam di surau kecil kampungnya, mendengarkan guru mengaji menafsirkan ayat demi ayat Al-Qur’an. Ia bukan hanya menghafal, tapi juga bertanya “Mengapa?”, pertanyaan yang menandai calon ilmuwan sejati.

Perjalanan Karier dan Perjuangan

Merantau menuntut ilmu ke tanah suci

Setelah menamatkan pendidikan awal di Aceh, Abdurrauf muda melakukan perjalanan panjang ke Mekkah dan Madinah. Perjalanan ini bukan sekadar ibadah, tetapi petualangan intelektual. Dalam catatan sejarah, ia berangkat sekitar tahun 1640-an dan tinggal di Timur Tengah selama lebih dari 19 tahun.

Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama besar seperti Syekh Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, dua tokoh sufi terkemuka di Madinah. Dari mereka, Abdurrauf memperoleh ijazah (otorisasi) dalam tarekat Syattariyah, sebuah aliran tasawuf yang menekankan keseimbangan antara dzikir, amal, dan ilmu.

Ia juga menimba ilmu tafsir, hadis, fiqh, dan ushuluddin dari banyak ulama besar Hijaz. Dalam perjalanannya, Abdurrauf dikenal bukan hanya sebagai pelajar yang tekun, tapi juga murid yang rendah hati dan berpikir kritis. Ia mencatat, mendiskusikan, dan kemudian menyusun ulang gagasan para gurunya dengan bahasa yang mudah dipahami.

Kembali ke Aceh sebagai pembawa cahaya ilmu

Sekitar tahun 1661 M, Abdurrauf kembali ke tanah kelahirannya. Tapi Aceh yang ia temui sudah berbeda. Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda telah berlalu, dan kerajaan kini dipimpin oleh Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, ratu pertama dalam sejarah Kesultanan Aceh.

Kedatangan Abdurrauf disambut hangat. Dalam waktu singkat, reputasinya sebagai ulama lulusan Mekkah menyebar ke seluruh Aceh. Sultanah menunjuknya sebagai mufti kerajaan yang jabatan tertinggi dalam bidang hukum dan agama yang semasa dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Tugasnya bukan hanya memberi fatwa, tetapi juga membimbing raja dan rakyat agar hukum Islam dijalankan dengan adil dan bijak.

Namun, menjadi ulama istana bukan perkara mudah. Ia harus berjalan di garis tipis antara kekuasaan dan kebenaran. Di sinilah kebijaksanaannya diuji. Abdurrauf tidak tunduk pada kekuasaan, tetapi juga tidak memusuhi penguasa. Ia memilih jalan tengah yaitu menjadi penuntun rohani yang menyejukkan, bukan pengkritik yang membakar.

Puncak Keberhasilan dan Kontribusi

1. Menulis tafsir pertama di Nusantara

Salah satu karya monumental Abdurrauf adalah Tafsîr Tarjumân al-Mustafîd, satu tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu Arab, yang menjadi tafsir pertama di dunia Melayu-Indonesia.

Karya ini bukan hanya sekadar terjemahan, tetapi juga penjelasan kontekstual ayat-ayat suci dalam bahasa yang dimengerti masyarakat awam.

Bayangkan, pada abad ke-17 ketika literasi masih terbatas, Abdurrauf telah menulis karya setebal ribuan halaman yang berisi tafsir Al-Qur’an dengan penjelasan moral, sosial, dan spiritual. Ia tidak sekadar menjelaskan makna kata, tetapi juga menyentuh jiwa pembaca.

Tafsir ini digunakan di dayah-dayah Aceh selama berabad-abad dan menjadi jembatan penting dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah Nusantara mulai dari Minangkabau hingga Johor dan Patani. Beberapa naskah salinannya kini tersimpan di perpustakaan Leiden, Malaysia, dan Aceh.

2. Membangun sistem hukum Islam Aceh

Karya penting lainnya, Mir’ât al-Tullâb fî Tashîl Ma’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb, adalah panduan bagi para hakim (qadi) dalam mengadili perkara berdasarkan syariat Islam.

Kitab ini digunakan secara resmi di peradilan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin dan menjadi salah satu dokumen hukum Islam tertua di Asia Tenggara.

Abdurrauf memperkenalkan sistem peradilan yang berimbang yakni mengutamakan keadilan, musyawarah, dan rahmat. Ia memandang hukum Islam bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sarana melindungi rakyat dari kezaliman.

3. Menyebarkan tarekat Syattariyah di Nusantara

Selain tafsir dan hukum, Abdurrauf juga dikenal sebagai guru sufi yang menyebarkan tarekat Syattariyah di Nusantara. Ia mengajarkan keseimbangan antara syariat dan hakikat yaitu bagaimana seorang Muslim tak cukup hanya taat secara lahiriah, tetapi juga harus mengenal Tuhannya secara batiniah.

Dari dayah yang ia dirikan di Kuala Aceh, ratusan murid datang menimba ilmu. Mereka kemudian menjadi ulama di berbagai daerah seperti Sumatra, Jawa, bahkan Semenanjung Melayu. Karena itu, sanad tarekat Syattariyah di Nusantara hampir selalu menelusuri garis ke Abdurrauf as-Singkili.

Nilai, Pandangan Hidup, dan Filosofi

Abdurrauf dikenal bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena akhlaknya. Ia hidup sederhana, menolak kekayaan, dan lebih suka tinggal di dayah bersama murid-muridnya daripada di istana.

1. Ilmu sebagai jalan ibadah

Baginya, menuntut ilmu bukan sekadar mencari pengetahuan, tapi ibadah yang menyucikan jiwa. Dalam pengantar kitab Tarjumân al-Mustafîd, ia menulis bahwa setiap kata yang ditulis adalah doa agar umat memahami makna Al-Qur’an dan mengamalkannya.

“Ilmu tanpa amal adalah pohon tanpa buah,” begitu pesan yang sering ia ulang kepada muridnya.

2. Tasawuf praktis, bukan eskapisme

Abdurrauf memandang tasawuf bukan pelarian dari dunia, melainkan sarana memperbaiki hati sambil berbuat nyata untuk masyarakat. Ia menolak ekstremitas yaitu tidak memisahkan dunia dan agama, tidak mengagungkan mistisisme tanpa amal.

Inilah yang membuat ajarannya mudah diterima masyarakat luas karena tasawufnya membumi.

3. Moderasi dalam berpikir dan bersikap

Ia menentang perdebatan keras antara kelompok “salafi” dan “sufi” di masanya. Ia memilih jalan tengah yang rasional dan damai.

Ketika beberapa ulama menuduh tasawuf wujudiyyah (paham yang menekankan kesatuan Tuhan dan makhluk) sebagai sesat, Abdurrauf menulis klarifikasi yang lembut dan argumentatif. Ia menunjukkan bahwa yang penting bukan istilah, tetapi niat dan pemahaman hati.

Filosofinya inilah yang membuatnya dihormati, bahkan oleh pihak yang berbeda pandangan. Dalam sejarah intelektual Islam Nusantara, ia dikenal sebagai simbol harmoni antara syariat, hakikat, dan akal sehat.

Akhir Kehidupan dan Warisan

Abdurrauf wafat sekitar tahun 1693 M, dalam usia mendekati 80 tahun. Ia dimakamkan di daerah Kuala Aceh, di tepi muara sungai, tidak jauh dari tempat ia mengajar dan menulis.

Makannya kini dikenal sebagai Kompleks Makam Teungku Syiah Kuala, yang setiap tahun dikunjungi ribuan peziarah, pelajar, dan peneliti.

Warisan intelektualnya terus hidup. Namanya diabadikan sebagai Universitas Syiah Kuala (USK) di Banda Aceh, yang kini menjadi salah satu perguruan tinggi terbesar di Sumatra.

Lebih dari itu, semangat keilmuannya menular pada generasi ulama Aceh berikutnya seperti Abu Daud Beureueh, Abuya Muda Waly, dan banyak lainnya.

Karya-karyanya, terutama Tarjumân al-Mustafîd, kini menjadi sumber riset penting dalam studi Islam Nusantara. Para akademisi modern menilai Abdurrauf sebagai jembatan antara Timur Tengah dan dunia Melayu, seorang intelektual yang memadukan teks suci dengan konteks lokal.

Kesimpulan

Perjalanan hidup Abdurrauf as-Singkili adalah bukti bahwa kebesaran tidak selalu lahir dari pedang atau tahta, melainkan dari pena dan ketulusan.

Dari kampung kecil di Singkil, ia mengembara ribuan kilometer menuntut ilmu, lalu kembali membawa cahaya yang menerangi Nusantara selama berabad-abad.

Ia mengajarkan bahwa ilmu bukan untuk disombongkan, tetapi untuk memanusiakan manusia. Bahwa agama bukan untuk berdebat, tetapi untuk menenangkan hati.

Dalam dirinya, kita menemukan harmoni antara syariat dan tasawuf, antara akal dan cinta, antara dunia dan akhirat.

Kini, ratusan tahun setelah kepergiannya, nama Syiah Kuala masih hidup dalam doa dan pengetahuan. Ia bukan hanya milik Aceh, tapi milik seluruh bangsa yang mencintai ilmu dan kebenaran.

Pertanyaan Umum (FAQ)

1. Siapakah Abdurrauf as-Singkili sebenarnya?

Abdurrauf as-Singkili (1615–1693) adalah ulama besar asal Aceh yang dikenal sebagai penulis tafsir Al-Qur’an pertama dalam bahasa Melayu dan penyebar tarekat Syattariyah di Nusantara. Ia juga menjabat sebagai mufti Kesultanan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin Syah.

2. Apa kontribusi terbesar Abdurrauf bagi Indonesia dan dunia Islam?

Kontribusi terbesarnya adalah karya tafsir Tarjumân al-Mustafîd, yang membuka akses umat Melayu terhadap pemahaman Al-Qur’an. Selain itu, ia membangun sistem hukum Islam dan pendidikan dayah yang melahirkan banyak ulama.

3. Apa tantangan terbesar yang dihadapi Abdurrauf?

Tantangan utamanya adalah menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik istana dan prinsip kebenaran agama, serta menjawab polemik teologis antara kaum sufi dan kaum rasional di Aceh abad ke-17.

4. Nilai apa yang bisa kita pelajari dari kehidupannya?

Kita bisa belajar tentang kerendahan hati, cinta ilmu, dan moderasi beragama. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan harus membawa kedamaian, bukan perpecahan.

5. Mengapa Abdurrauf relevan untuk generasi kini?

Di tengah dunia yang terpolarisasi, sosok Abdurrauf memberi teladan tentang keseimbangan antara ilmu dan akhlak, antara teks dan konteks. Ia menunjukkan bahwa menjadi cerdas itu penting, tapi menjadi bijak jauh lebih mulia.

Khumaira Putri
Khumaira Putri Saya adalah seorang yang suka menulis dan menuangkan tulisan kedalam postingan blog. silahkan mampir ke blog saya: Asliseymen Blog

Posting Komentar