Biografi Syeikh Nuruddin ar-Raniry: Sang Pemikir Ulung dalam Peradaban

Table of Contents

Biografi Syeikh Nuruddin ar-Raniry

Biografi Syeikh Nuruddin ar-Raniry - Bayangkan sebuah masa ketika Aceh berdiri sebagai salah satu pusat ilmu dan perdagangan paling berpengaruh di Asia Tenggara. Di pelabuhan-pelabuhan ramai itu, para ulama, saudagar, dan cendekiawan dari berbagai negeri datang silih berganti, membawa gagasan, kitab, dan semangat zaman baru.

Di tengah hiruk pikuk kerajaan yang makmur itu, muncullah seorang ulama yang bukan hanya ahli agama, tetapi juga pemikir, sejarawan, dan pembaharu pemikiran Islam yaitu Syeikh Nuruddin ar-Raniry.

Namanya mungkin tak sepopuler pahlawan bersenjata, tetapi perannya dalam membangun peradaban intelektual Nusantara sungguh monumental. Ia adalah sosok yang berani berpikir kritis di masa ketika keberanian berpikir bisa memicu perdebatan teologis besar. 

Syeikh ar-Raniry tidak sekadar menulis kitab, tetapi juga membangun jembatan antara logika dan keimanan, antara filsafat dan syariat, antara lokalitas dan universalitas Islam.

Melalui kisah hidupnya, kita akan belajar bahwa menjadi ulama sejati bukan hanya soal ilmu, tetapi juga tentang keberanian moral untuk memperjuangkan kebenaran, meski berisiko menghadapi arus pemikiran yang berlawanan.

Latar Belakang Kehidupan

Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid ar-Raniry. Ia lahir di Ranir (kini dikenal sebagai Rander), sebuah kota kecil di Gujarat, India, yang pada masa itu menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam. 

Gujarat dikenal sebagai wilayah yang kosmopolitan dimana tempat bertemunya pedagang Arab, Persia, dan Melayu. Dari lingkungan inilah ar-Raniry tumbuh dengan wawasan yang luas, terbuka, dan penuh semangat intelektual.

Sejak kecil, ar-Raniry dikenal tekun menuntut ilmu. Ia belajar Al-Qur’an, hadis, fikih, tasawuf, dan filsafat Islam dari para ulama terkemuka di wilayahnya. 

Tradisi keilmuan Gujarat kala itu sangat kaya dengan pemikiran rasional dan sufistik, hasil pengaruh dari para ulama besar India dan Persia. Tak heran, sejak muda ar-Raniry sudah terbiasa berdiskusi tentang perbedaan pandangan, baik dalam hal teologi maupun tasawuf.

Sebagai keturunan Arab, lebih tepatnya dari keluarga Hamid yang memiliki hubungan dengan Hadramaut, Syeikh ar-Raniry memiliki semangat dakwah yang kuat. 

Ia merasa terpanggil untuk menyebarkan ilmu dan memperbaiki pemahaman umat. Dan takdir membawanya ke ujung barat Nusantara, ke Kesultanan Aceh Darussalam, yang kala itu berada di puncak kejayaan intelektualnya.

Perjalanan Karier dan Perjuangan

Sekitar tahun 1637 M, Nuruddin ar-Raniry tiba di Aceh. Saat itu, takhta dipegang oleh Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, putri dari Sultan Iskandar Muda. Kedatangan ar-Raniry bukanlah kebetulan. 

Aceh, yang saat itu menjadi pusat ilmu Islam di Asia Tenggara, sedang mengalami pergeseran pemikiran. Sebelumnya, muncul aliran wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, dua tokoh besar yang menekankan aspek spiritual dan mistik dalam Islam.

Ajaran ini mendapat pengikut luas, namun juga menimbulkan kontroversi. Banyak ulama menilai ajaran tersebut terlalu dekat dengan panteisme dimana mereka berpandangan bahwa Tuhan menyatu dengan makhluk. Di sinilah peran ar-Raniry dimulai.

Dengan latar belakang pendidikan yang kuat dalam syariat dan tasawuf, ar-Raniry berupaya meluruskan pemahaman masyarakat Aceh. Ia menulis banyak karya untuk mengoreksi ajaran wahdatul wujud yang menurutnya berpotensi menyesatkan akidah. 

Namun, langkah ini tentu tak mudah. Ia menghadapi perdebatan sengit dengan para pengikut Hamzah Fansuri, bahkan menanggung risiko kehilangan simpati sebagian ulama lokal.

Meski demikian, Sultanah Safiatuddin mendukung ar-Raniry karena melihat ketulusannya dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. 

Dukungan ini membuatnya diangkat sebagai Syaikh al-Islam, posisi tertinggi dalam bidang keagamaan di Kesultanan Aceh. Dari sini, ia mulai menata kembali arah pemikiran keislaman di kerajaan tersebut.

Puncak Keberhasilan dan Kontribusi

Pada masa inilah, karya-karya besar ar-Raniry lahir satu demi satu. Ia menulis tidak hanya untuk kalangan ulama, tetapi juga untuk masyarakat umum, dengan gaya yang komunikatif dan penuh hikmah.

Beberapa karya monumentalnya antara lain:

  1. Bustan as-Salatin (Taman Para Raja) — karya ensiklopedis besar yang membahas sejarah para nabi, raja, dan pemerintahan Islam. Buku ini menjadi sumber penting bagi sejarah Melayu dan peradaban Islam di Nusantara.
  2. Asrar al-Insan fi Ma‘rifat ar-Ruh wa ar-Rahman — membahas filsafat manusia, roh, dan ketuhanan.
  3. Hidayat al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib — kumpulan hadis dan nasihat moral untuk umat Islam.
  4. Sirr al-Asrar dan Jawahir al-‘Ulum — membahas ilmu-ilmu tasawuf dalam kerangka syariat yang ketat.
  5. Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah — membicarakan hari akhir, kiamat, dan kehidupan setelah mati.

Yang menarik, Bustan as-Salatin bukan sekadar buku sejarah. Ia adalah refleksi filosofis tentang bagaimana kekuasaan, kebijaksanaan, dan moralitas saling terkait. 

Melalui kisah raja-raja dan ulama, ar-Raniry ingin mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukan diukur dari kemegahan istana, tetapi dari keadilan dan ilmu pengetahuan.

Selain menulis, ar-Raniry juga mendirikan pusat kajian Islam dan menjadi pengajar bagi banyak murid yang kelak menyebarkan ilmunya ke seluruh Nusantara. Ia menciptakan sistem dakwah yang seimbang antara zahir (syariat) dan batin (tasawuf), menggabungkan kedalaman spiritual dengan ketegasan hukum Islam.

Ilustrasi Dayah (Pesantren Klasik Aceh) Masa Syeikh ar Raniry

Kontribusinya menjadikan Aceh semakin dikenal sebagai “Serambi Mekkah”, tempat belajar agama bagi para pelajar dari berbagai negeri: Minangkabau, Pattani, Banten, hingga Champa. Ia membangun pondasi intelektual yang membuat Aceh menjadi poros pemikiran Islam yang berpengaruh di Asia Tenggara selama berabad-abad.

Baca Juga:
Biografi KH Zainal Mustafa Lengkap

Nilai, Pandangan Hidup, dan Filosofi

Nuruddin ar-Raniry adalah contoh klasik seorang ulama yang berpikir moderatif. Ia menolak ekstremisme, baik yang terlalu rasional hingga mengabaikan iman, maupun yang terlalu mistik hingga menafikan hukum. Bagi ar-Raniry, Islam harus berdiri di atas dua pilar: akal yang jernih dan hati yang bersih.

Dalam pandangannya, ilmu tidak boleh berhenti pada tataran pengetahuan semata. Ilmu harus melahirkan kebijaksanaan, membentuk akhlak, dan menuntun manusia menuju Tuhan. 

Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat. Seorang raja, misalnya, tidak boleh hanya berambisi memperluas wilayah, tetapi juga harus menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Menariknya, ar-Raniry juga memiliki pandangan yang visioner tentang peran perempuan dalam pemerintahan. Di bawah kepemimpinan Sultanah Safiatuddin, ia tetap mendukung penuh pemerintahan perempuan, selama pemimpin tersebut adil dan menjalankan syariat dengan baik. Pandangan ini sangat progresif untuk konteks abad ke-17.

Nilai-nilai yang ia ajarkan terasa relevan hingga kini:

  1. Berpikir kritis dalam iman.
  2. Menjaga keseimbangan antara rasio dan spiritualitas.
  3. Menegakkan keadilan sebagai bentuk ibadah.
  4. Menghormati ilmu dan ulama sebagai pondasi peradaban.

Akhir Kehidupan dan Warisan

Setelah dua dekade mengabdi di Aceh, Nuruddin ar-Raniry kembali ke tanah kelahirannya di Gujarat sekitar tahun 1644 M. Meski demikian, pengaruhnya tetap hidup di Aceh dan seluruh kepulauan Melayu. Ia wafat sekitar tahun 1658 M, meninggalkan jejak intelektual yang dalam dan abadi.

Warisan ar-Raniry tidak hanya berupa kitab-kitab, tetapi juga tradisi berpikir kritis dalam bingkai keimanan. Ia mengajarkan bahwa agama bukan penghalang bagi ilmu, melainkan pemandu menuju kebenaran. Pemikirannya tentang hubungan akal dan wahyu menjadi dasar bagi perkembangan teologi dan filsafat Islam di Nusantara.

Hingga kini, Universitas Islam Negeri (UIN) di Banda Aceh menggunakan namanya: UIN Ar-Raniry, sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi ilmiahnya. Namanya juga diabadikan dalam berbagai institusi dan kajian akademik yang mengkaji hubungan antara agama, budaya, dan peradaban.

Generasi muda masa kini dapat belajar dari sikapnya: bahwa kekuatan sejati bukan pada siapa yang paling keras berdebat, tetapi siapa yang paling tulus mencari kebenaran.

Refleksi untuk Generasi Masa Kini

Di era modern yang serba cepat dan penuh disrupsi, gagasan Nuruddin ar-Raniry terasa semakin relevan. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tidak berarti meninggalkan nilai-nilai spiritual. Sebaliknya, kemajuan sejati adalah ketika akal dan iman berjalan seiring.

Di tengah polarisasi dan perbedaan pandangan dalam masyarakat modern, semangat ar-Raniry mengingatkan kita pentingnya berdialog dengan adab, berpikir kritis tanpa menyalahkan, dan belajar tanpa merasa paling benar.

Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada suara paling lantang, tetapi pada niat paling tulus dalam mencari kebenaran.

Kesimpulan

Kisah hidup Nuruddin ar-Raniry adalah cermin dari kekuatan ilmu dan integritas moral. Ia bukan hanya ulama besar, tetapi juga pembentuk arah pemikiran Islam Nusantara. Di tengah arus pemikiran yang beragam, ia tetap teguh pada prinsip kebenaran tanpa kehilangan sikap bijak dan adab.

Ia mengajarkan bahwa ilmu yang benar tidak hanya memecahkan masalah dunia, tetapi juga menuntun jiwa menuju cahaya Tuhan. Bahwa berpikir kritis dan beriman bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua sayap yang mengantarkan manusia menuju ketinggian peradaban.

Warisan Syeikh ar-Raniry bukan hanya di perpustakaan, tetapi di dalam cara kita berpikir, berdialog, dan mencari kebenaran hari ini.

Pertanyaan Umum (FAQ)

1. Siapakah Nuruddin ar-Raniry sebenarnya?

Nuruddin ar-Raniry adalah ulama, sejarawan, dan filsuf Islam asal Gujarat yang berperan besar dalam perkembangan pemikiran Islam di Kesultanan Aceh pada abad ke-17.

2. Apa kontribusi terbesar Nuruddin ar-Raniry bagi Indonesia?

Ia membangun tradisi intelektual Islam yang kuat di Nusantara melalui karya-karya seperti Bustan as-Salatin, serta menegakkan keseimbangan antara syariat dan tasawuf.

3. Apa tantangan terbesar yang dihadapi ar-Raniry?

Menentang ajaran wahdatul wujud yang populer saat itu. Ia harus berhadapan dengan para ulama besar dan arus pemikiran yang berbeda tanpa memecah belah umat.

4. Nilai apa yang bisa kita pelajari dari kehidupannya?

Keberanian berpikir kritis, keikhlasan dalam dakwah, dan pentingnya menjaga keseimbangan antara akal dan iman.

5. Mengapa Nuruddin ar-Raniry relevan untuk generasi kini?

Karena ia mengajarkan bahwa kemajuan umat hanya bisa dicapai melalui ilmu, kebijaksanaan, dan toleransi yaitu tiga hal yang dibutuhkan di era modern.

Khumaira Putri
Khumaira Putri Saya adalah seorang yang suka menulis dan menuangkan tulisan kedalam postingan blog. silahkan mampir ke blog saya: Asliseymen Blog

Posting Komentar