Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah: Ratu Cendekia dari Serambi Mekkah
Biografi Sultanah Safiatuddin Syah - Di ujung barat Nusantara, di tanah Aceh yang kala itu dikenal sebagai Serambi Mekkah, lahirlah sebuah kisah kepemimpinan yang menakjubkan. Di masa ketika dunia dikuasai oleh para raja dan panglima laki-laki, seorang perempuan bangkit memimpin kerajaan maritim yang disegani.
Ia bukan sekadar simbol, melainkan penggerak kebangkitan ilmu pengetahuan, keadilan, dan diplomasi. Namanya adalah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, penguasa perempuan pertama dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Pemerintahannya dari tahun 1641 hingga 1675 menjadi masa penting yang menandai transformasi Aceh dari kekuatan militer menjadi pusat keilmuan dan peradaban. Di bawah tangannya, Aceh tidak hanya bertahan dari gejolak politik dunia, tetapi juga tumbuh menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan toleransi di Asia Tenggara.
Kisah Sultanah Safiatuddin bukan hanya kisah tentang kekuasaan, tetapi tentang kebijaksanaan. Tentang bagaimana ilmu pengetahuan dapat menjadi alat untuk memimpin, bukan sekadar senjata untuk berperang. Dan lebih dari itu, kisahnya adalah cermin bahwa kepemimpinan sejati lahir dari keberanian untuk melampaui batas yang ditetapkan oleh zamannya.
Latar Belakang Kehidupan
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah lahir sekitar tahun 1612 di Banda Aceh, dalam masa kejayaan besar Kesultanan Aceh Darussalam. Ia adalah putri dari Sultan Iskandar Muda, penguasa legendaris yang dikenal karena keberaniannya menaklukkan wilayah luas di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Dari ibunya, Putri Kamaliah, Safiatuddin mewarisi kelembutan dan keteguhan iman; dari ayahnya, ia belajar tentang keberanian dan kecintaan terhadap ilmu.
Masa kecil Safiatuddin dihabiskan di lingkungan istana yang kosmopolit. Banda Aceh kala itu adalah pelabuhan internasional dimana kapal dari Turki, Gujarat, Arab, dan Eropa silih berganti singgah di pelabuhan kerajaan.
Ia tumbuh di tengah riuhnya perdagangan rempah, diplomasi antar bangsa, dan pertemuan budaya. Dari para ulama yang datang ke istana, ia belajar Al-Qur’an, hadis, fiqh, hingga filsafat dan logika. Dari pelaut dan duta-duta asing, ia belajar bahasa dan politik.
Berbeda dari kebanyakan putri kerajaan pada zamannya, Safiatuddin dikenal memiliki kecintaan mendalam terhadap ilmu. Ia menguasai bahasa Arab, Persia, dan Melayu, serta membaca kitab-kitab tasawuf dan tafsir. Kecerdasannya membuat para ulama kagum, sementara pembesar istana memandangnya sebagai sosok yang akan membawa warna baru dalam sejarah Aceh.
Lingkungan kerajaan saat itu masih sangat patriarkal. Namun ayahnya, Sultan Iskandar Muda, dikenal mendukung pendidikan bagi perempuan bangsawan. Ia percaya bahwa kekuatan kerajaan tidak hanya diukur dari pasukan dan harta, tetapi juga dari kebijaksanaan para pemimpinnya.
Didikan inilah yang kelak menjadikan Safiatuddin berbeda dari pemimpin lainnya yaitu seorang perempuan aceh yang bukan hanya memerintah, tetapi memahami hakikat pemerintahan itu sendiri.
Perjalanan Karier dan Perjuangan
Tahun 1641 menjadi titik balik besar dalam sejarah Aceh. Sultan Iskandar Thani, suami Safiatuddin yang juga menantu Iskandar Muda, wafat mendadak tanpa meninggalkan pewaris laki-laki. Kerajaan berada di ambang krisis. Siapa yang akan menggantikan takhta?
Dalam sidang besar kerajaan, para ulama dan pembesar istana berkumpul. Perdebatan panjang terjadi: apakah pantas seorang perempuan memimpin negeri sebesar Aceh? Namun di tengah perdebatan itu, muncul satu suara yang menegaskan: “Kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh ilmu, keadilan, dan amanah.”
Maka, atas kesepakatan bersama, Putri Safiatuddin diangkat menjadi Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, penguasa baru Kesultanan Aceh Darussalam.
Namun, keputusan itu tidak serta-merta membuat jalan pemerintahannya mudah. Banyak bangsawan yang meragukan kemampuannya. Beberapa daerah yang dulunya tunduk pada Aceh mulai menunjukkan tanda-tanda ingin melepaskan diri. Selain itu, kekuatan Eropa yang terutama Belanda dan Portugis kian memperkuat pengaruhnya di jalur perdagangan Nusantara.
Sultanah Safiatuddin menghadapi situasi genting dengan kepala dingin. Ia memahami bahwa masa kejayaan militer ayahnya sulit diulang, karena dunia telah berubah. Ia memilih strategi lain: diplomasi dan pembangunan intelektual.
Daripada menambah peperangan, ia memperkuat daya pikir rakyatnya. Daripada mengirim pasukan ke medan laga, ia mengirim ulama dan cendekia ke berbagai wilayah untuk mengajarkan ilmu agama, bahasa, dan logika.
Di bawah kepemimpinannya, Aceh menjadi kerajaan yang lebih damai. Perdagangan tetap berjalan, hubungan diplomatik terjaga, dan rakyat hidup dalam stabilitas. Ia membangun kembali jaringan pesantren (dayah), mendirikan pusat penerjemahan kitab, dan memberi dukungan besar kepada para ulama agar menulis dalam bahasa Melayu agar lebih mudah dipahami rakyat.
Bagi Safiatuddin, ilmu adalah senjata yang lebih tajam dari pedang. Ia percaya, selama rakyat berilmu, maka negeri akan tetap kuat meski tanpa perang.
Puncak Keberhasilan dan Kontribusi
![]() |
Ilustrasi Aceh pada Masa Pemerintahan Sultanah Safiatuddin Syah |
Selama 34 tahun memerintah, Sultanah Safiatuddin membawa Kesultanan Aceh menuju masa yang berbeda: masa keemasan intelektual. Jika Iskandar Muda dikenal karena penaklukannya, maka Safiatuddin dikenang karena pencerahannya.
1. Pusat Ilmu Pengetahuan di Asia Tenggara
Sultanah Safiatuddin mendirikan lembaga-lembaga keagamaan yang mengajarkan tafsir, fiqh, hadis, dan ilmu logika. Ia mendorong para ulama untuk menulis dan menerjemahkan karya-karya penting ke dalam bahasa Melayu.
Hasilnya, Aceh menjadi pusat ilmu Islam yang disegani di Asia Tenggara. Banyak ulama besar seperti Abdurrauf Singkel dan Syekh Syamsuddin al-Sumatrani mendapatkan dukungan penuh dari istana.
Karya-karya yang lahir di masa pemerintahannya menyebar ke berbagai wilayah Nusantara, hingga ke Malaka dan Pattani. Bahasa Melayu pun berkembang menjadi bahasa ilmu dan budaya. Ini menjadi salah satu warisan intelektual terbesar yang terus hidup hingga kini.
2. Diplomasi yang Cerdas dan Bermartabat
Alih-alih memperluas wilayah dengan peperangan, Safiatuddin memperkuat hubungan diplomatik. Ia menjalin komunikasi dengan Kesultanan Johor, Turki Utsmani, Gujarat, hingga pedagang Eropa. Dalam banyak catatan, duta-duta asing memuji Aceh sebagai kerajaan yang makmur, teratur, dan dipimpin dengan tangan bijak.
Ia juga menolak campur tangan langsung dari VOC Belanda dalam urusan kerajaan. Dengan diplomasi halus namun tegas, ia menjaga kedaulatan Aceh tanpa menimbulkan konflik terbuka. Di tangan Safiatuddin, Aceh menjadi contoh bahwa kekuatan sejati tidak selalu lahir dari senjata, melainkan dari kebijaksanaan.
3. Perempuan dan Pendidikan
Sultanah Safiatuddin adalah pelopor keterlibatan perempuan dalam ruang publik di dunia Melayu-Islam. Ia membuka kesempatan bagi perempuan bangsawan untuk belajar agama, sastra, dan tata pemerintahan.
Beberapa perempuan diangkat menjadi pejabat istana, bahkan duduk dalam lembaga penasehat kerajaan. Ini langkah revolusioner pada abad ke-17, ketika sebagian besar kerajaan di dunia masih menutup pintu bagi perempuan dalam pemerintahan.
4. Stabilitas Sosial dan Hukum
Salah satu kebijakan pentingnya adalah memperkuat sistem hukum berbasis syariat yang adil dan humanis. Ia membentuk dewan ulama yang berfungsi sebagai pengawas moral dan penasehat hukum. Di bawah kepemimpinannya, rakyat Aceh menikmati keamanan, sementara pajak dan perdagangan diatur dengan bijak.
Kebijakannya menciptakan keseimbangan antara spiritualitas dan realitas ekonomi yang merupakan sesuatu yang jarang ditemukan dalam masa itu. Ia memerintah bukan dengan tangan besi, melainkan dengan kelembutan yang berakar pada keilmuan dan nilai-nilai Islam.
Nilai, Pandangan Hidup, dan Filosofi
Kepemimpinan Sultanah Safiatuddin bukan sekadar administratif, tetapi filosofis. Ia memandang kekuasaan bukan sebagai hak, melainkan amanah. Dalam berbagai pidatonya kepada pembesar kerajaan, ia menegaskan bahwa seorang pemimpin harus lebih dahulu menaklukkan dirinya sendiri sebelum menaklukkan orang lain.
1. Ilmu sebagai Pilar Kekuasaan
Bagi Safiatuddin, ilmu adalah sumber legitimasi moral. Ia sering mengingatkan bahwa takhta hanya akan kokoh bila berdiri di atas pengetahuan dan kebijaksanaan.
Ia sendiri rutin berdiskusi dengan ulama, bahkan tidak jarang berdebat dengan cendekia untuk memperdalam pemahamannya terhadap hukum Islam dan politik. Ini menjadikannya bukan sekadar ratu, melainkan juga seorang intelektual istana.
2. Keadilan dan Empati
Ia dikenal sangat dekat dengan rakyat. Dalam beberapa catatan sejarah, Sultanah Safiatuddin kerap turun langsung ke pasar untuk mendengarkan keluhan pedagang.
Ia memastikan harga barang tetap stabil dan tidak ada penindasan terhadap rakyat kecil. Filosofinya sederhana: “Kekuatan kerajaan tidak diukur dari istananya, melainkan dari ketenangan rakyatnya.”
3. Kesetaraan dan Inklusivitas
Keberaniannya membuka peran bagi perempuan di dunia publik adalah manifestasi keyakinannya bahwa setiap manusia, laki-laki maupun perempuan, memiliki potensi yang sama untuk belajar dan berbuat baik. Ia tidak menentang adat, tetapi menafsirkannya dengan cara baru yaitu lebih terbuka, lebih adil, dan lebih manusiawi.
4. Spirit Damai dan Diplomasi
Sultanah Safiatuddin percaya bahwa perdamaian adalah bentuk tertinggi dari kemenangan. Dalam era kolonialisme yang penuh tipu daya, ia menunjukkan bahwa diplomasi yang cerdas bisa lebih efektif daripada perang panjang.
Filosofi ini masih sangat relevan di dunia modern bahwa kecerdasan emosional dan komunikasi lintas budaya adalah kunci keberhasilan pemimpin.
Akhir Kehidupan dan Warisan
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah wafat pada tahun 1675 setelah 34 tahun memimpin dengan kebijaksanaan. Namun, pengaruhnya tidak berhenti di situ.
Setelah kepergiannya, Aceh masih dipimpin oleh tiga sultanah lainnya secara berturut-turut. Tradisi perempuan memimpin menjadi bagian dari identitas politik Aceh hingga akhir abad ke-17.
Warisan Safiatuddin hidup dalam tiga bentuk utama:
- Warisan Intelektual, berupa berkembangnya tradisi ilmu dan penulisan dalam bahasa Melayu. Banyak karya ulama besar muncul berkat perlindungan dan dukungannya.
- Warisan Sosial, berupa peran perempuan yang semakin diakui dalam pendidikan dan masyarakat.
- Warisan Moral, berupa teladan kepemimpinan yang berbasis pada ilmu, empati, dan keadilan.
Hingga kini, namanya masih harum di Aceh. Banyak lembaga pendidikan, jalan, dan pusat riset dinamai untuk mengenangnya. Ia dikenang bukan karena peperangan, tetapi karena kebijaksanaan. Bukan karena ekspansi, tetapi karena pencerahan.
Generasi kini bisa belajar banyak darinya: bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling berilmu dan bermanfaat bagi orang banyak.
Kesimpulan
Kisah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah adalah kisah tentang keberanian yang lahir dari kebijaksanaan. Dalam masa penuh gejolak, ia memimpin dengan kepala dingin dan hati yang hangat.
Ia menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar kebijakan, bukan sekadar pelengkap istana. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada pikiran yang tercerahkan dan hati yang adil.
Lebih dari tiga abad kemudian, warisannya masih terasa: dalam cara kita memahami pendidikan, menghargai peran perempuan, dan menafsirkan kepemimpinan yang manusiawi.
Sultanah Safiatuddin bukan hanya milik sejarah Aceh, tetapi milik seluruh bangsa yang percaya bahwa ilmu dan keadilan adalah dua sayap kemajuan peradaban.
Pertanyaan Umum (FAQ)
1. Siapakah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah?
Ia adalah ratu pertama Kesultanan Aceh Darussalam yang memerintah dari 1641 hingga 1675. Putri dari Sultan Iskandar Muda, ia dikenal sebagai pemimpin cendekia yang membawa Aceh ke masa keemasan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2. Apa kontribusi terbesar Sultanah Safiatuddin bagi Indonesia?
Ia mengubah wajah Aceh dari kerajaan militer menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan Islam di Asia Tenggara. Ia juga membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pendidikan dan pemerintahan.
3. Tantangan apa yang dihadapi selama pemerintahannya?
Safiatuddin harus menghadapi keraguan terhadap kepemimpinan perempuan, ancaman kolonial dari Eropa, serta tanggung jawab mempertahankan stabilitas kerajaan setelah era kejayaan ayahnya.
4. Nilai apa yang bisa kita pelajari dari sosoknya?
Kecintaan terhadap ilmu, keadilan sosial, keberanian menembus batas tradisi, serta pandangan bahwa perdamaian dan diplomasi adalah bentuk tertinggi dari kekuatan.
5. Mengapa Sultanah Safiatuddin masih relevan saat ini?
Karena ia menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin besar tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya, bahwa kekuasaan dapat dijalankan dengan akal, hati, dan moral yang seimbang.
Posting Komentar