Strategi Mencegah Serangan Ulang Walang Sangit Setelah Panen
Nabil Zaydan - Bagi petani padi, masa panen sering dianggap akhir dari perjuangan panjang melawan hama. Namun, kenyataannya, ancaman justru belum sepenuhnya berlalu. Salah satu musuh yang paling sering kembali mengintai adalah walang sangit (Leptocorisa spp.), hama penghisap malai yang bisa merusak hasil panen pada musim berikutnya.
Hama Walang sangit dikenal tangguh karena mampu bertahan hidup meski tanaman padi sudah dipanen. Hama ini cerdik memanfaatkan rerumputan liar, jerami sisa, atau gulma di pematang sawah sebagai tempat berlindung dan berkembang biak. Jika lahan tidak segera dibersihkan, hama ini siap menyerang lagi ketika musim tanam dimulai.
Lalu, bagaimana cara mencegah agar serangan ulang tidak terjadi? Artikel ini akan mengulas secara tuntas langkah-langkah pencegahan pasca panen, berdasarkan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan praktik pertanian yang terbukti efektif di berbagai daerah Indonesia.
Mengenal Siklus dan Risiko Serangan Ulang Walang Sangit
Walang sangit merupakan jenis serangga penghisap cairan bulir padi. Ia menyerang sejak fase pengisian bulir hingga menjelang panen, menyebabkan bulir menjadi hampa, hitam, dan ringan. Namun, yang sering luput dari perhatian petani adalah kemampuannya bertahan setelah panen selesai.
Beberapa penelitian pertanian daerah seperti Dinas Pertanian Buleleng dan Distani Tulang Bawang mencatat bahwa populasinya dapat terus hidup di sela-sela musim tanam, terutama karena:
1. Adanya tanaman inang alternatif.
Gulma di sekitar sawah seperti rumput teki atau semak liar bisa menjadi tempat favorit bagi hama ini untuk bertelur dan berlindung.
2. Pola tanam tidak serempak.
Ketika sebagian lahan sudah panen namun lahan lain masih fase generatif, hama dengan mudah berpindah lokasi. Akibatnya, tidak pernah ada “jeda” bagi populasi untuk benar-benar mati.
3. Siklus hidup yang cepat.
Siklus hidup dari hama walang sangit ini sangat cepat, dari telur hingga dewasa hanya butuh beberapa minggu, cukup bagi satu generasi untuk berkembang sebelum musim tanam baru dimulai.
Karena itu, strategi pasca panen sangat penting. Tujuannya bukan hanya mengurangi populasi yang tersisa, tapi juga memutus rantai perkembangbiakan sebelum hama punya kesempatan menyerang kembali.
Langkah-langkah Mencegah Serangan Ulang Walang Sangit
1. Sanitasi Lahan
Langkah paling sederhana sekaligus paling vital dalam pencegahan adalah sanitasi lahan setelah panen. Banyak petani yang terburu-buru meninggalkan lahan usai memanen gabah, padahal waktu inilah yang krusial untuk membersihkan sumber hama.
Sanitasi mencakup:
- Pembersihan gulma dan rerumputan liar di pematang, saluran air, dan sekitar lahan.
- Pemotongan sisa jerami hingga rata agar tidak menjadi tempat persembunyian.
- Pembakaran atau pengomposan sisa jerami secara terkendali untuk mematikan telur dan nimfa.
Menurut panduan Kompas Agrikultur (2022), tindakan sanitasi sebaiknya dilakukan tidak lebih dari seminggu setelah panen. Semakin cepat lahan dibersihkan, semakin kecil peluang walang sangit bertahan dan berkembang di sela waktu tanam.
Sanitasi juga berfungsi ganda: selain mencegah hama, lahan menjadi lebih siap untuk proses olah tanah berikutnya.
2. Tanam Serempak
Konsep tanam serempak merupakan inti dari strategi PHT. Prinsipnya sederhana yaitu bila seluruh petani di satu hamparan menanam dan memanen padi dalam waktu hampir bersamaan, maka hama kehilangan kesempatan untuk “berpindah rumah”.
Menurut data dari Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, perbedaan waktu tanam yang lebih dari dua minggu antarpetak dapat menjadi celah bagi walang sangit untuk bertahan hidup. Mereka akan bersembunyi di lahan yang baru dipanen, lalu berpindah ke petak lain yang masih berbulir.
Koordinasi antarpetani menjadi kunci. Biasanya, kelompok tani di daerah berhasil menerapkan pola tanam serempak dengan mengandalkan jadwal tanam kolektif yang disusun oleh penyuluh lapangan (PPL). Langkah ini terbukti menekan populasi hama ini hingga 40–60% di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan.
3. Menanam Refugia
Refugia adalah tanaman berbunga yang sengaja ditanam di sekitar sawah untuk menarik musuh alami hama seperti laba-laba, kepik predator, atau parasitoid telur. Tanaman ini berfungsi sebagai “hotel” bagi serangga baik agar tetap bertahan di lahan pertanian.
Beberapa jenis refugia yang umum digunakan antara lain:
- Kenikir (Cosmos caudatus)
- Bunga matahari (Helianthus annuus)
- Bunga kertas (Zinnia elegans)
- Bayam cabut dan kacang panjang
Menurut hasil penelitian Balai Proteksi Tanaman Pangan (BPTPH), kehadiran refugia mampu meningkatkan populasi musuh alami hingga tiga kali lipat dibanding lahan tanpa refugia.
Menariknya, refugia juga mempercantik lanskap sawah dan berfungsi menahan angin di sekitar pematang.
Namun, penting untuk mempertahankan tanaman refugia setelah panen, bukan mencabutnya. Di masa jeda tanam, refugia menjadi benteng terakhir agar musuh alami tetap hidup dan siap membantu menekan populasi walang sangit saat musim tanam dimulai kembali.
4. Pengendalian Hayati
Selain refugia, pengendalian biologis juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan agens hayati seperti jamur entomopatogen Beauveria bassiana atau Metarhizium anisopliae. Kedua jenis jamur ini bekerja dengan menginfeksi tubuh serangga dan melemahkan sistem metabolismenya hingga mati.
Aplikasi bisa dilakukan pada akhir musim tanam, terutama ketika hama masih aktif di area lahan. Dengan kondisi kelembapan tinggi, spora jamur dapat bertahan lebih lama di tanah atau sisa jerami dan menekan populasi sisa sebelum musim tanam berikutnya.
Namun, penggunaannya harus memperhatikan suhu dan kelembapan. Jika terlalu kering, efektivitas jamur menurun drastis. Karena itu, petani biasanya mengombinasikan metode hayati dengan sanitasi agar hasilnya maksimal.
Pemantauan Rutin di Sela Musim Tanam
Banyak petani menganggap masa setelah panen sebagai waktu “istirahat” total, padahal bagi walang sangit, inilah saat yang tepat untuk bersembunyi dan berkembang biak. Oleh karena itu, pemantauan populasi di sela musim tanam menjadi langkah penting yang sering dilupakan.
Pemantauan bisa dilakukan dengan cara sederhana:
- Mengamati keberadaan telur atau nimfa di gulma sekitar pematang.
- Menyisir lahan pada pagi atau sore hari saat hama lebih aktif.
- Memasang perangkap cahaya atau jaring untuk mendeteksi populasi hama yang dewasa.
Jika ditemukan jumlah yang signifikan, tindakan pengendalian lokal seperti pembersihan ulang atau penyemprotan agens hayati bisa segera dilakukan tanpa menunggu masa tanam berikutnya.
Pemantauan rutin juga membantu petani memetakan tren populasi hama sehingga langkah pencegahan dapat disusun lebih akurat musim demi musim.
Mengelola Batas Lahan dan Sumber Migrasi Hama
Tidak jarang, sumber serangan ulang justru berasal dari petak tetangga atau lahan yang dibiarkan kosong. Walang sangit mampu terbang hingga radius ratusan meter, sehingga kontrol harus dilakukan tidak hanya di lahan sendiri, tapi juga pada area sekitar.
Langkah efektifnya:
- Bersihkan pematang, saluran air, dan jalan di sekitar sawah dari gulma tinggi.
- Koordinasikan sanitasi bersama petani sekitar agar tidak ada “zona aman” bagi hama.
- Jika memungkinkan, lakukan pengeringan serempak (drainase) di akhir musim tanam untuk memutus habitat lembap tempat hama berkembang.
Pendekatan kolektif seperti ini sudah terbukti efektif di beberapa desa di Kabupaten Sragen dan Lampung Timur, di mana tingkat serangan walang sangit turun hingga di bawah 5% per musim setelah dilakukan sanitasi massal.
Tantangan dan Penyesuaian di Lapangan
Penerapan langkah-langkah di atas tentu tidak selalu mudah. Beberapa tantangan umum yang sering dihadapi petani antara lain:
- Koordinasi antarpetani: Tanam serempak memerlukan kesepakatan luas dan dukungan dari penyuluh lapangan.
- Kondisi cuaca: Musim hujan dapat menghambat sanitasi atau menurunkan efektivitas agens hayati.
- Keterbatasan pengetahuan teknis: Sebagian petani belum familiar dengan konsep refugia atau jamur entomopatogen.
- Keterbatasan biaya: Meski sebagian langkah tergolong murah, implementasi kolektif kadang memerlukan dukungan logistik tambahan.
Namun, kendala ini dapat diatasi dengan pendampingan dan pelatihan berkelanjutan dari penyuluh pertanian. Banyak program dari Kementerian Pertanian yang kini mulai mengedepankan PHT berbasis komunitas, agar petani mampu mandiri dalam mengelola hama pasca panen.
Kesimpulan
Mencegah serangan ulang walang sangit setelah panen bukan pekerjaan satu kali. Ia menuntut disiplin, kolaborasi, dan pengamatan terus-menerus.
Kombinasi antara sanitasi yang cepat, tanam serempak, pemeliharaan refugia, serta pemantauan rutin dapat menurunkan risiko serangan ulang secara signifikan.
Dengan menerapkan strategi ini secara konsisten, petani tidak hanya menjaga hasil panen tetap tinggi, tetapi juga ikut melestarikan keseimbangan ekosistem sawah tanpa ketergantungan berlebih pada pestisida kimia.
Walang sangit memang licik, tapi dengan pendekatan ilmiah dan gotong royong antarpetani, ancamannya bisa ditekan dan bahkan dicegah sebelum muncul kembali.
Pertanyaan Umum (FAQ)
1. Apakah walang sangit bisa benar-benar hilang dari sawah?
Tidak sepenuhnya, karena hama ini bagian dari ekosistem. Namun, populasinya bisa ditekan hingga tidak merugikan produksi dengan PHT yang berkelanjutan.
2. Apakah penyemprotan kimia setelah panen efektif?
Tidak disarankan. Setelah panen, sebaiknya fokus pada sanitasi dan kontrol hayati, karena pestisida hanya efektif jika ada tanaman inang yang aktif.
3. Tanaman refugia apa yang paling mudah ditanam di sawah Indonesia?
Kenikir dan bunga kertas termasuk paling mudah tumbuh, tidak membutuhkan perawatan khusus, dan efektif menarik musuh alami walang sangit.
4. Berapa lama periode aman sebelum tanam ulang setelah panen?
Idealnya 2–3 minggu cukup, asalkan dalam periode itu dilakukan sanitasi, pengeringan, dan pengamatan populasi hama.
5. Siapa yang bertanggung jawab mengatur tanam serempak?
Biasanya kelompok tani bersama penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang menetapkan jadwal tanam agar sinkron di seluruh hamparan.

Posting Komentar